SELAMAT DATANG


I made this widget at MyFlashFetish.com.

My Blog List

Kamis, 20 Agustus 2009

Tragedi Sampit
Kayau-mengayau Membelah Sampit


Jakarta, 7 Maret 2001 20:13
TANGISAN haru pecah di pendopo kantor Bupati Kabupaten Bangkalan, Jalan Letnan Abdullah, Jumat pekan lalu. ''Alhamdulillah, akhirnya kami sampai di Madura,'' kata Jayadi, 31 tahun, sambil terisak. Toh, kegembiraan itu tak lama. Sejenak kemudian, pemuda ceking itu tepekur. ''Kami tidak tahu harus ke mana setelah ini,'' tuturnya.

Jayadi terus memeriksa sebuah alamat: Desa Nasoka, Kecamatan Ketapang, Kabupaten Sampang. ''Tidak jelas siapa orangnya. Ibu kami sudah 50 tahun tak mengontak saudaranya di Madura,'' katanya masygul. Ia tidak tahu harus menemui siapa untuk meminta perlindungan.

Jayadi adalah potret getir warga pendatang di Sampit, Kalimantan Tengah. Mereka dipaksa meninggalkan tanah itu setelah diburu-buru warga Dayak, yang mengklaim sebagai ahli waris bumi Sampit.

Bersama ribuan pengungsi lain, Jayadi cabut dari daerah panas itu, Kamis pekan lalu, menumpang Kapal Motor Bukit Raya ke Surabaya. ''Saya bisa selamat karena saya bukan orang Madura,'' katanya. Ia memang asli Semarang, tapi sejak usia tiga tahun hijrah ke Sampit mengikuti orangtuanya.

Pada 1989, Jayadi kawin dengan Fitri, 29 tahun, gadis Madura putri Marini, 60 tahun. Mereka dikaruniai tiga anak, dan bermukim di Desa Sumber Makmur, Mentaya Hilir Utara, Kabupaten Sampit. Jayadi jualan sayur-mayur keliling kampung. Meski pas-pasan, mereka bisa hidup tenang, sampai semuanya hancur berkeping.

Penderitaan itu dimulai Senin 19 Februari lalu. Saat itu, Jayadi sedang bertamu di rumah kakaknya, Lastri, di Kampung Begendang, 500 meter dari Desa Sumber Makmur. Menurut kesaksian Jayadi, tiba-tiba saja serombongan orang Dayak datang mengobrak-abrik rumah-rumah, membakar, bahkan membunuh warga keturunan Madura. Jumlah mereka sekitar 15 orang. Tiap orang menggengam tombak, mandau (parang), sumpit, juga panah. ''Setelah membakar dan membunuh, mereka selalu berseru 'ukluk-ukluk-ukluk','' kata Jayadi sambil mengentak-entakkan kakinya.

Bersama Lastri, ia melihat pembantaian itu. ''Pokoknya, setiap bertemu sasaran, cres... cres... cres,'' Jayadi menuturkan sambil meletakkan tangan di lehernya, seperti orang memotong leher. Jayadi sempat gemetaran ketika rombongan bersenjata itu menatapnya. Setelah mendengus, mereka pun berlalu begitu saja. Tak ada kata-kata.

Jayadi tak tahu pasti mengapa bisa lolos. Ia menduga, rombongan lelaki itu dari suku Dayak Iban, yang dikenal punya penciuman tajam. Seperti dilaporkan wartawan Gatra Suhartono, Dayak Iban inilah yang keluar-masuk kampung melakukan pemeriksaan lewat aroma. Kalau ada yang dianggap orang Madura, mereka berteriak, ''Di sini ada sapi....''

Yang tak punya kemampuan seperti itu melakukan seleksi secara konvensional, lewat bahasa. Warga pendatang disuruh menghitung satu sampai sepuluh, lalu diminta melafalkan kata ''kuning''. Bila sepuluh diucapkan sepoloh, dan koning untuk warna kuning, nyawa bisa putus.

Setelah tahu orang Madura menjadi sasaran amuk, Jayadi bergegas pulang. ''Untung mereka belum sampai rumah saya,'' katanya. Istri, ibu mertua, dan tiga anaknya panik. Jayadi mengambil inisiatif mengungsikan mereka. ''Saya sembunyikan di hutan,'' katanya. Sekitar dua kilometer dari rumahnya. ''Setiap hari, saya kirim makanan buat keluarga saya,'' ujar Jayadi. Ia sendiri menunggui rumah agar tidak dibakar.

Namun, suasana makin panas saja. Jayadi gamang. Ada tetangganya, sesama pendatang, yang menyarankan agar Jayadi kabur saja, tanpa peduli istri dan anak. ''Kalau toh dibawa, pasti akan kena perkara dengan suku Dayak,'' kata Jayadi, menirukan bujukan keji itu. Jayadi tak sudi mendengarnya. ''Saya mencintai keluarga saya,'' ungkap Jayadi yang hanya tamatan SD ini. Dengan bantuan dua aparat Pemerintah Daerah (Pemda) Sampit, Jayadi akhirnya berhasil membawa keluarganya ke tempat pengungsian di kompleks kantor Pemda Sampit.

Di tengah-tengah teman senasibnya, Jayadi sempat berharap bisa kembali hidup tenang seperti sediakala. Sayang, itu hanya mimpi. Saat ia melongok ke kampung, rumahnya telah rata dengan tanah. Jayadi kini tidak punya apa-apa lagi. Akhirnya, dia memutuskan mengikuti saran mertuanya, kembali ke Madura. ''Saya tak punya saudara lagi di Semarang,'' katanya.

Akibat tragedi Sampit, puluhan ribu orang harus mengalami nasib tragis. Sampai pekan lalu, menurut catatan Pemda Kalimantan Tengah, pengungsi yang telah diangkut ke luar Kalimantan sekitar 23.800 orang, dan yang masih ditampung di tempat pengungsian sekitar 33.000 orang.

Sosiolog dari Universitas Indonesia, Imam B. Prasodjo, menyebutkan bahwa penyelesaian konflik antaretnis di Sampit dan Palangkaraya hendaknya tidak dilakukan dengan mengungsikan warga Madura ke daerah lain. ''Ini justru bisa memprovokasi bahwa bila orang tidak suka terhadap pendatang, di pulau mana pun, bisa diusir,'' kata Imam. Orang-orang di Irian Jaya atau di pulau lain bisa melakukan ini. ''Yang kita pertaruhkan saat ini adalah Indonesia sebagai masyarakat majemuk. Pemerintah jangan hanya sibuk mengurus asapnya, tapi lupa di mana apinya,'' Imam menambahkan.

Apa boleh buat, pemerintah untuk sementara seperti tidak punya pilihan lain, kecuali evakuasi. Juru bicara kantor Pemda Kalimantan Tengah, Harun Al-Rasyid, mengatakan bahwa langkah evakuasi terpaksa diambil untuk menghindari jatuh korban lebih banyak. Jumlah korban insiden Sampit dan Palangkaraya itu, menurut Harun, adalah 357 orang --341 di antaranya dari etnis Madura. Sebanyak 571 rumah dibakar. ''Evakuasi menjadi jalan terbaik. Ini sesuai dengan pertimbangan kondisi lapangan, bukan merujuk pada teori,'' tutur Harun.

Setelah aman, kata Harun, pengungsi bisa kembali. Pertanyaannya, kapan? Hingga kini, polisi belum mau memberikan jaminan keamanan. Karena itulah, M. Noer, tokoh yang dituakan oleh orang Madura, sempat mencak-mencak saat bertemu Kapolri Jenderal S. Bimantoro di Surabaya, Sabtu pekan lalu.

Soal pengungsi ini memang tak mudah dipecahkan. Sekadar contoh, akibat konflik etnis di Sambas, dua tahun lalu, puluhan ribu orang masih tersuruk di kamp-kamp pengungsian di Pontianak. Jumlahnya mencapai 68.000 orang, yang tersebar di asrama haji, Stadion Syarif Abdulrahman, Gelanggang Olahraga (GOR) Pangsuma, GOR Bulu Tangkis Khatulistiwa, dan Stadion Universitas Tanjungpura.

Belum lagi para pengungsi di daerah lain. Yang paling sering bikin heboh dan menjadi problem internasional adalah pengungsi yang kini merana di Nusa Tenggara Timur. Mereka yang mengungsi setelah jajak pendapat Timor Timur, awal September 1999, itu jumlahnya masih sekitar 80.000 orang, susut dari jumlah semula yang 200.000 orang.

Di Palu dan Donggala, masih ada 10.000 korban kerusuhan Poso yang belum berani pulang ke kampungnya. Mereka ditampung di tiga lokasi, yakni Desa Binangga, Kecamatan Marawola, Kabupaten Donggala; Stadion Gawalise di Kota Madya Palu; juga bekas kantor Bank Tabungan Negara Silae serta gedung KNPI. Masih ada lagi soal pengungsi Ambon, Maluku Utara, dan Aceh yang jumlahnya ratusan ribu.

Karena itu pula, Jumat pekan lalu pemerintah memutuskan menghidupkan kembali Badan Koordinasi Nasional (Bakornas) untuk Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi. Badan ini semasa Presiden Soeharto dan B.J. Habibie dipimpin Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra). Karena pos Menko Kesra kosong, badan itu kini diketuai Wakil Presiden (Wapres) Megawati Soekarnoputri, dengan sekretaris Bambang Kesowo, yang sehari-hari menjabat sekretaris wapres. Lembaga inilah yang nantinya menangani korban bencana alam dan pengungsi.

Tentu, Bakornas tak bisa meredam kekerasan. Insiden Sampit sampai makan banyak korban, tutur sosiolog dari Universitas Tanjungpura, Prof. Syarief Ibrahim Algadrie, salah satu penyebabnya adalah kurang kompaknya TNI/Polri di lapangan. ''Koordinasinya tidak jelas dari siapa,'' kata Algadrie. Di Sampit, TNI dan polisi malah terlibat baku tembak (lihat: Upeti di Tengah Pengungsi).

Wakil Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Munir, menyebutkan bahwa pengamanan tak efektif karena ada rivalitas TNI dan Polri. Munir, seperti biasa, menyodok: TNI dianggap membiarkan konflik meletup, mengulur bantuan pasukan. Semua ini dilakukan agar timbul kesan bahwa Polri tidak mampu menjaga keamaman. ''Ini tidak hanya terjadi di Palangkaraya, juga di Aceh, Papua, dan daerah konflik lain,'' kata Munir.

Tudingan bahwa TNI tak cepat tanggap dibantah Kepala Pusat Penerangan TNI, Marsekal Muda Graito Usodo. ''Begitu TNI diminta membantu Polri, kami langsung memberikan respons,'' katanya. Ia menyebutkan, mobilisasi pasukan membutuhkan waktu, baik untuk mengumpulkan personel, penerbangan, maupun transportasi menuju lokasi kejadian. ''Orang gampang saja mengatakan kami terlambat. Padahal, banyak hal yang menyebabkan keterlambatan itu. Mereka tidak mau melihat itu dengan kacamata jernih,'' ujar Graito.

Sialnya, di tengah keterbatasan aparat itu, kerusuhan justru merambat sangat cepat. Mula-mula, pada 18 Februari, ditemukan seorang warga Madura terbujur kaku di pinggir Jalan Karya Baru, Sampit ( 3 Maret 2000). Sejumlah warga Madura menuntut balas. Mereka membakar sembilan rumah warga Dayak. Empat orang meregang nyawa --satu orang luka-luka disambar celurit, tiga lainnya hangus terbakar.

Wakil Bupati Kotawaringin Timur, H.M. Thamrin Noer, yang turun ke lokasi untuk memantau situasi di Jalan Baamang, nyaris dihabisi warga Madura. Noer mencoba menenangkan emosi massa. Untung saja, seorang warga Madura yang cukup berpengaruh mengenalinya. Dengan pengawalan polisi, Thamrin kemudian meninggalkan lokasi.

Warga Madura terus mengamuk. Praktis, selama dua hari mereka menguasai arena. Merasa menang angin, mereka mengibarkan spanduk kemenangan. Salah satu bunyinya, ''Selamat Datang di Sampang II''. Aksi inilah yang sebenarnya mengundang kemarahan warga Dayak. ''Bagi warga Dayak, tanah itu adalah kehormatan. Tak sejengkal pun boleh diambil orang lain,'' kata J.J. Kusni, putra Dayak, lulusan Universitas Sorbonne, Paris, bidang ilmu sejarah, yang mengajar di Universitas Kristen Palangkaraya.

Suku Dayak akhirnya membalas pada 20 Februari. Dari berbagai penjuru, massa Dayak tumpah ruah ke Sampit. Suasana layaknya perang. Massa Dayak mengenakan ikat kepala warna merah dan kuning. Mereka bersenjata mandau, tombak, dan panah. Sebelum memulai perang, mereka menenggak barem, minuman keras tradisional Dayak. Mereka memburu suku Madura di semua sudut kota Sampit, malah melebar sampai ke Samuda, 70 kilometer sebelah selatan Sampit.

Suasana benar-benar mencekam. Sampit bagaikan ladang pembantaian. Mayat bergelimpangan di jalan-jalan. Sungai Mentaya, yang melintasi kota Sampit, menghanyutkan mayat-mayat tanpa kepala. Perburuan terus meluas sampai Palangkaraya.

Eksekusi memenggal kepala lawan dalam budaya Dayak dikenal dengan sebutan ngayau. Cuma, menurut Kepala Pusat Penelitian Kebudayaan Dayak, Universitas Palangkaraya, Prof. H. Kena Muhammad Aini Matseman Usop, 67 tahun, tradisi ini sudah ditinggalkan sejak seabad lalu. ''Sekarang muncul lagi sebagai bentuk pelampiasan dan akumulasi perasaan yang terhina dan tertindas,'' kata Usop.

Penegakan hukum yang lemah, menurut Usop, ikut andil memicu insiden. ''Banyak kasus yang coba diselesaikan secara hukum, hasilnya mengecewakan. Orang Madura yang bersalah sering bebas. Kalaupun dihukum, cuma sebentar,'' katanya. Pendek kata, dalam kehidupan bermasyarakat, orang Dayak merasa terus dikibuli orang Madura. ''Kalau harga diri terus-terusan diinjak, mereka bisa marah, dan inilah akibatnya,'' ujarnya.

Apa pun, kasus Sampit makin menjulangkan nama Indonesia sebagai negeri ''berjuta kekerasan'''. Selama beberapa hari, media massa internasional menyajikan ''kekerasan etnis'' di Sampit sebagai menu utama. Mereka menggeber tulisan dengan foto-foto yang sadis, bengis. Harian New York Times membandingkannya dengan kekejaman saat Revolusi Prancis. Bedanya, di Prancis, kepala-kepala manusia dipotong dengan kapak guillotine, sedangkan warga Madura dipenggal dengan parang. ''Mayat berserakan di mana-mana. Betul-betul kejam dan biadab,'' tulis koran yang sangat berpengaruh di Amerika Serikat itu.

Kekerasan di negeri yang sempat berjuluk ''zamrud khatulistiwa'' ini benar-benar sedang jadi sorotan pers luar negri. National Geographic, yang biasanya hanya mengulas lingkungan hidup dan keindahan alam, pada edisi Maret 2001 menurunkan laporan khusus kekerasan etnis di Tanah Air. Judulnya bikin deg-degan: Living Dangerously in Indonesia. Lalu, beberapa jaringan televisi Timur Tengah menampilkan kepala-kepala manusia tanpa badan ketika Presiden Gus Dur menyampaikan pidato pembukaan KTT G-8 di Kairo, Mesir, Ahad pekan lalu.

Saking gawatnya urusan, dari dalam negeri sejumlah tokoh, antara lain cendekiawan muslim Nurcholish Madjid, Ketua DPR-RI Akbar Tandjung, Ketua MPR-RI Amien Rais, dan Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia Adi Sasono, sampai meminta Presiden Gus Dur mengakhiri lawatannya ke luar negeri. ''Menurut ukuran-ukuran normal, seharusnya pulang karena ini peristiwa sangat besar. Besar sekali,'' kata Nurcholish Madjid.

Tapi, Gus Dur sepertinya lebih suka memakai ukurannya sendiri. ''Saya ke luar negeri ini menandakan bahwa keadaan dalam negeri semuanya beres. Jadi, tidak perlu dikhawatirkan,'' katanya saat dialog dan makan malam bersama masyarakat Indonesia di Kedutaan Besar RI di Kairo, Senin malam pekan lalu.

Media massa asing, kata Gus Dur, terlampau berlebihan. ''Pemberitaan pers asing terlampau membesar-besarkan. Peristiwa di Kalimantan seolah-olah telah menyebabkan kehancuran,'' katanya. Alhasil, Gus Dur tetap melanjutkan lawatannya ke luar negeri sampai 7 Maret. Keputusannya itu, menurut Gus Dur, diambil setelah mendapat saran dari Menteri Koordinator Bidang Politik, Sosial, dan Keamanan Susilo Bambang Yudhoyono dan Kapolri Jenderal S. Bimantoro. Gus Dur, seperti dikatakan Menteri Pertahanan Moh. Mahfud MD, baru akan menengok Sampit, Kamis pekan ini.

Hal itu memang harus dilakukan. Kalau tak pandai-pandai meniti buih, pemerintahan Gus Dur bakal mendapat kerepotan baru. Bukan mustahil, kejadian ini akan memberi tempat bagi tuntutan Borneo merdeka. Ketua Kaukus Kalimantan, Letnan Jenderal (purnawirawan) Z.A. Maulani, mengatakan bahwa gagasan ini disambut hangat masyarakat Kalimantan. ''Itu disebabkan ketidakpercayaan masyarakat Kalimantan terhadap pemerintahan pusat,'' kata mantan Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara yang masih berdarah Dayak itu.

Soal Borneo merdeka ini mulai menggelinding setelah 82 pemuka suku Dayak bertemu pada 30 Januari lalu di Palangkaraya. Maulani sendiri mengaku, walaupun hadir dalam pertemuan tersebut, ia tak setuju dengan ide Borneo merdeka. ''Itu termasuk tindakan makar,'' katanya kepada Bambang Febri Triatmojo dari Gatra. Kejadian awal di Sampit memang bisa menjadi momentum untuk memasarkan gagasan separatis itu.
Klik disini untuk melihat video.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar